Halaman

2.3.18

Ibu Rumah Tangga

Assalamu'alaikum semuanyaaa 💕

Postingan kali ini, aku ingin sedikit flashback tentang keputusan aku untuk menjadi ibu rumah tangga.
Mohon maaf sebelumnya jika di dalamnya nanti ada pemikiranku yang tidak sesuai dengan pemikiran teman-teman yaa 😘
Source : google

Keinginan untuk menjadi ibu rumah tangga sebetulnya sudah ada sejak zaman masih kuliah dulu. Kalau lagi pillow talk sama roommate kost andalanku jaman dulu, pasti kalau ditanya nanti pilih jadi wanita karir atau ibu rumah tangga aku akan jawab gini :

"Ya kalo misal nanti gajinya suamiku udah cukup buat semua kebutuhan, aku milih jadi ibu rumah tangga aja deh, ga perlu bangun pagi buat berangkat kantor hehe"
Alasannya emang agak cemen ya, karena aku memang bukan morning person. Pagi-pagi itu rasanya pengennya leyeh-leyeh dulu, ga hectic nyiapin ini itu. Dan mumpung anak belum sekolah, maka aku sangat menikmati pagi yang tenang tanpa gangguan. Ditambah lagi, suami punya jam kerja shift, jadi kerusuhan di rumah ga mesti terjadi di pagi hari 😀

Lulus kuliah, ikutan arus datengin segala macem job fair supaya cepet dapet kerjaan.
Alhamdulillah, ga nunggu lama, keterima di perusahaan listrik. Saat itu, siapa yang ga bangga keterima di perusahaan ternama?
Mamah ikut bangga, semua bahagia
Akunya?
Sebetulnya ga bahagia-bahagia amat, karena deep down inside ga pengen kerja di perusahaan pemerintah dan kawan-kawannya.


Long story short, alhamdulillah ketemu jodoh di kantor. Dilemapun dimulai, karena akan ada peraturan tidak boleh menikah sesama pegawai yang akan diberlakukan beberapa bulan kemudian.

Rencana menikah sudah ada, dan karena pengumuman larangan ini, sempat kepikir untuk memajukan rencana nikah dengan pelaksanaan akad dulu dan resepsi kemudian.
Hanya demi menghindari pemberlakuan larangan di perusahaan.

Dari situ mulai memikirkan berbagai macam pertimbangan, baik buruknya, apakah menikah dipercepat atau stick to the plan dengan resiko harus keluar dari perusahaan. Beberapa pertimbangan yang ada di pikiranku saat itu adalah :

Resiko LDM. Ini merupakan salah satu pertimbangan utama aku akhirnya memutuskan untuk tetap menikah sesuai dengan rencana. Kenapa? Karena, dulu pas pertama kali keterima di perusahaan itu, aku tanda tangan kontrak yang salah satu isinya adalah bersedia ditempatkan di seluruh wilayah Indonesia. Sementara calon suami (yang sekarang sudah jadi suami) isi kontraknya "hanya" bersedia ditempatkan di seluruh Jawa Tengah.
Kenapa ini penting?
Karena dari dulu aku punya pemikiran kalau sebisa mungkin sesudah menikah itu harus tinggal serumah. Menurutku, apa esensi rumah tangga kalau tidak serumah?
Memang ada banyak kondisi yang mungkin mengharuskan beberapa pasangan untuk tetap LDM selama pernikahannya, tapi buat aku itu agak sulit. Maka aku memperkecil resiko LDM dengan cara memilih resign, sehingga jika suami nanti dimutasi ke berbagai kota, aku bisa ikut membersamai jika kondisinya memungkinkan.

Konflik rumah tangga yang lebih banyak. Faktor ini ada beberapa sisi yang jadi pertimbangan aku. Salah satu yang paling utama adalah, aku tau kapasitas diriku, dan aku tau sejauh apa aku bisa menahan egoku. Buat aku, dengan tetap bekerja dan memiliki penghasilan sendiri (yang mana pada saat itu gajiku sedikit lebih tinggi dari suami), akan membuat aku susah untuk "berbakti" seutuhnya pada suami. Ini adalah sisi buruk diri yang masih susah untuk dihilangkan pada saat itu. Maka dari itu, aku memutuskan untuk mengundurkan diri dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya.
Faktor lainnya adalah konflik waktu. Aku dulu adalah pekerja kantoran dengan hari kerja Senin - Jumat pada jam 07.30 - 16.30, sementara suami adalah pekerja kantoran dengan jam kerja shift sehingga waktu liburnya berbeda dari pekerja kantoran pada umumnya. Ini membuatku berpikir, akan agak sulit mencocokkan waktu untuk berlibur, atau bahkan untuk sekedar mengobrol setiap harinya. Bayangkan ketika misalnya suami kerja sore hari, maka jam aku pulang kerja adalah jam dia berangkat kerja. Lalu kapan bisa ngobrolnya?
Sekali lagi, faktor-faktor ini adalah yang menjadi pertimbangan pribadi aku. Banyak pasangan lain yang bisa menyiasati segala masalah yang aku sebutkan di atas, tapi aku memilih untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya konflik rumah tangga dengan memilih mengundurkan diri dari perusahaan.

Anak. Salah satu tujuan dari pernikahan tentu adalah untuk memperoleh keturunan. Dan pemikiran tentang anak ini menjadi salah satu pertimbanganku untuk resign dari kantor.
Aku dan suami adalah anak-anak yang tumbuh tanpa ayah. Ayah kami meninggal saat usia kami bahkan belum mencapai akil baligh. Jadi kami tau persis bagaimana rasanya tumbuh tanpa sosok ayah. Hal ini berkaitan dengan resiko pertama yaitu kemungkinan LDM. Jika aku tetap bekerja, hampir bisa dipastikan bahwa kami akan menjalani LDM dan ini berarti jika kami mempunyai anak, maka anak kami mungkin hanya akan bertemu ayahnya seminggu sekali. Entah kenapa, memikirkannya saja aku merasa sedih. Rasanya aku merampas hak anak untuk bertemu ayahnya setiap hari.
Setelah belajar di IIP tentang fitrah seksualitas, Alhamdulillah aku semakin yakin bahwa aku memutuskan hal yang tepat, karena ternyata ketiadaan sosok ayah bisa menjadi salah satu penyebab penyimpangan seksualitas anak.
Lagi-lagi, ini pemikiran pribadi aku tanpa bermaksud menghakimi pasangan yang memilih untuk LDM, karena aku yakin sekali setiap keluarga punya masalah masing-masing sehingga penyelesaiannya pun berbeda untuk setiap kondisi yang dihadapi.

Lantas, setelah memutuskan untuk resign, apakah aku menyesal?
Alhamdulillah tidak. Banyak hal yang justru aku syukuri atas keputusan resign ini. Salah satunya adalah, resign menjadi salah satu kemudahan aku untuk bisa lebih memperbaiki hubungan pribadi dengan Ilahi. InsyaAllah hal ini nanti akan aku bahas di postingan tersendiri.
Kebanyakan orang yang mengetahui rencana resign, berkomentar tentang bagaimana nanti akan menjalani hidup hanya dengan satu sumber penghasilan. Dulu, dengan mantap aku hanya bisa menjawab
"matematika Allah jauh lebih hebat daripada matematika manusia pak/bu, minta doanya aja agar nanti keluargaku tidak kekurangan"
Bagaimana membiayai anak-anak juga menjadi salah satu isu yang dikomentari. Dulu sempet galau, karena ilmunya masih cetek banget soal agama hehe. Kalau sekarang ditanya lagi, akan bisa jawab bahwa rezeki setiap anak sudah ditentukan masing-masing. Kita sebagai orang tua jangan sampai memperkecil rezeki anak yang datang dari Allah SWT dengan berpikir bahwa rezeki itu hanya bisa datang melalui tangan kita. Allah Maha Kaya, cukup yakin bahwa Ia akan menjaga dan memenuhi semua kebutuhan anak kita, maka insyaAllah tidak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan.

Menjadi ibu rumah tangga awalnya memang sulit, perlu manajemen stres dan manajemen waktu yang baik agar tidak menjadi sebuah tekanan hidup. Perlu usaha ekstra agar selalu bisa merasa bahagia dan berharga.
Tapi setelah menjalaninya, tidak ada hal yang lebih membahagiakan dibanding dipuji suami kalau masakan enak, dipuji suami kalau rumah rapi, dan bisa jadi saksi pertama segala pertumbuhan dan perkembangan anak yang merupakan amanah utama yang harus kita pertanggungjawaban kelak.
Sekali lagi, postingan ini hanya curhatan aku semata. Ga ada maksud menghakimi ibu-ibu yang bekerja di ranah publik. Banyak temen aku yang canggih banget manajemen waktunya, sehingga urusan domestik dan publik bisa kelar dan rapi secara bersamaan. Yang terpenting adalah jangan sampai melupakan bahwa sesungguhnya amanah utama kita sebagai istri dan ibu ada di rumah, yaitu suami dan anak. Maka jadikanlah mereka sebagai prioritas utama dan pertama, sehingga semua lelah bisa menjadi ibadah.

Diedit secukupnya untuk mengikuti tantangan rumbel literasi media Ibu Profesional Semarang

Hatur nuhun udah baca yaa ❤

#tantangan4rumbelllm
#kisahinspiratif
#rumbellmipsemarang

4 komentar:

  1. ibu rumah tangga sama kerennya dengan ibu bekerja. tergantung seberapa besar kita mensyukuri hidup ya mba 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak..
      Hidup ibu rumah tangga profesional 😍

      Hapus
  2. Ihiiir...ibu keren itu poros peradaban...semangat teh..jabatannya langsung turun dari langit...Ting..ting

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tiap denger ibu sebagai arsitek peradaban, makjleb dan deg2an banget rasanyaaa

      Job desc nya beraattt 😂

      Hapus